Humor 17'an

on Selasa, 16 Agustus 2011


Suatu ketika ada orang Madura yg terkenal gokil, mengikuti lomba nyanyi tentang lagu Hari Kemerdekaan;

orang Madura; "Enam belas Agustus tahun empat lima ..."

Juri; "Salah itu ... ulangi !"

orang Madura; "Enam belas Agustus tahun empat lima ..."

Juri : "Salah ... kesempatan terakhir !"

Orang Madura; "Saya ndak salah pak, sampeyan dengar saya nyanyi dulu."

Akhirnya juri serius mendengarkan.

orang Madura; "Enam belas Agustus tahun empat lima...

BESOKNYA hari Kemerdekaan kita..."




Juri ; ?????




Just Kidding n' enjoy the Moment...






::sumber; Milis

Kisah Raja Yang Bijaksana

on Sabtu, 13 Agustus 2011




Ditulis pada Agustus 6, 2011
Oleh Komaruddin Hidayat









Alkisah, hidup seorang raja kaya raya dan dicintai rakyat, tetapi sudah mulai uzur sehingga harus menyerahkan takhta kerajaan kepada calon putra mahkotanya. Namun, raja ragu. Benarkah putranya sudah siap menerima tugas berat dan muliaitu?

Untuk menepis keraguan itu, Sang Raja ingin menguji putranya apakah layak dipercaya untuk memikul beban yang begitu berat sebagai calon penggantinya. Maka dipanggillah dia, dinasihati dan diberi tahu bahwa takhta kerajaan ini akan segera dilimpahkan kepadanya. Namun, sebelum itu, Sang Raja menyuruh putranya bersemadi dan tinggal di hutan setahun.

Tiba hari yang ditetapkan, berangkatlah putra mahkota itu dengan bekal dan pengawal sekadarnya. Dalam bulan-bulan pertama dia bingung. Apa yang sesungguhnya dikehendaki oleh ayahnya dan apa yang mesti dilakukan di hutan?
Maka, selain bersemadi, dia juga mengamati berbagai ragam pohon dan hewan penghuni hutan sehingga mengenal beragam buah-buahan dan rasanya. Dia pun mengenal aneka hewan dan suaranya serta jenis makanannya.

Putra mahkota tadi menghitung hari dan bulan, kapan saatnya kembali ke kerajaan menghadap ayahnya lalu dinobatkan di depan rakyat sebagai raja. Singkat cerita, setelah genap setahun, putra mahkota pulang dengan gembira, membayangkan pesta pengangkatan sebagai raja muda yang akan dikelilingi oleh wanita-wanita cantik serta pengawal yang selalu melayani dan menjaganya.

Setiba di kerajaan, setelah istirahat dan beradaptasi dengan kehidupan di lingkungan istana, ayahnya memanggil dan bertanya, ”Coba ceritakan kepadaku pengalaman apa yang kau dapatkan setelah setahun bermeditasi dan tinggal di hutan.” Putra mahkota menjawab dan menjelaskan panjang lebar tentang beragam tumbuhan dengan aneka ragam bunga dan buahnya serta rasanya. Selain itu, aneka ragam hewan, dari warnanya, makanannya, hingga suaranya.

Setelah selesai menceritakan pengalamannya dengan semangat dan panjang lebar, ayahnya berkata, ”Engkau mesti pergi lagi setahun tinggal di hutan. Aku belum yakin engkau akan mampu menerima amanat sebagai raja menggantikan diriku. Minggu depan engkau mesti pergi lagi.”

Dengan hati gundah dan pikiran bingung, putra mahkota pergi lagi ke hutan. Dia berpikir keras, apa yang kurang dan apa yang dikehendaki ayahnya sehingga dirinya mesti kembali lagi hidup di hutan. Sesampai di hutan dia melakukan meditasi dan perenungan kemudian mengisi hari-harinya dengan menikmati udaranya yang sejuk dan bau harum bunga serta mendengarkan suara berbagai hewan.

Pada tahun kedua ini, dia lebih jeli. Semakin tajam mata, telinga, dan intuisinya mengamati serta membaca apa pun yang ada di sekitarnya. Sampai-sampai dia mampu memahami bahasa hewan dan tumbuhan-tumbuhan serta isyarat alam. Bahkan, ia sudah mampu membaca tanda-tanda kalau akan terjadi bencana alam. Merasa sudah menyatu dengan alam, putra mahkota tadi semakin betah dan tidak berpikir lagi hendak pulang ke istana. Sampai-sampai setelah setahun berlalu, karena putranya belum juga pulang, sang ayah mengirim utusan untuk menjemputnya.

Banyak topeng di istana
Setelah cukup istirahat, Sang Raja bertanya kepada anaknya yang diharapkan menjadi peng- gantinya mengenai pengalaman apa saja yang didapat setelah dua tahun tinggal di hutan. Maka, sang anak pun bercerita panjang lebar bahwa pada tahun kedua tersebut dia semakin betah di hutan karena merasa telah menyatu dengan semua penghuni hutan. Bahkan, dia sudah memahami semua bahasa hewan, tumbuh-tumbuhan, air, api, serta angin.

Wajah sang ayah pun menjadi ceria karena merasa berhasil mempersiapkan calon pengganti raja. ”Ketahuilah anakku,” kata sang ayah, ”menjadi pemimpin itu harus mampu mendengarkan apa yang tidak terucapkan. Mampu melihat apa yang tidak terlihat. Mampu membaca apa yang tidak tertulis. Kalau kamu sudah mampu membaca dan mendengarkan suara serta perilaku alam, itu merupakan modal besar bagimu untuk menjadi pemimpin di negeri ini.”

”Ketahuilah anakku,” tutur sang ayah, ”dari zaman ke zaman antara istana dan rakyat itu selalu terdapat tembok yang membatasi sehingga, jika kamu tidak memiliki ketajaman hati, pikiran, dan intusisi, kamu tidak akan memahami apa yang tengah dirasakan dan dipikirkan rakyatmu. Kamu tidak akan paham apakah rakyatmu mencintaimu atau membencimu.”
”Ketahuilah anakku,” ujar sang ayah lagi, ”istana itu ibarat gudang madu dan segala makanan yang enak, yang mengundang semut, tikus, dan berbagai hewan akan mendekat untuk ikut menikmatinya. Ingat dan pegang teguh pesanku ketika suatu saat kamu telah duduk menggantikan posisiku.”

”Tidak semua yang ada di sekelilingmu adalah teman setiamu karena teman sejati baru akan ketahuan ketika kamu menangis, ketika kamu dalam bahaya, bukannya ketika kamu senang-senang berpesta ria. Orang-orang di sekelilingmu akan selalu memuji kamu sehingga kamu jarang mendengarkan kritik serta kata tidak di istana ini.”

”Asah terus ketajaman mata, telinga, pikiran, dan kebeningan hati yang telah engkau latih selama kamu tinggal di hutan belantara karena di istana akan kamu temui orang-orang yang bertopeng sehingga kamu harus mampu membaca hati dan pikiran yang tersembunyi di belakangnya.”

Mendengar nasihat sang ayah, putra mahkota baru menyadari betapa orangtuanya sangat bijak serta sangat mencintai negeri dan rakyatnya. Di balik pakaian kebesarannya sebagai raja, ayahnya ternyata memiliki hati yang sangat lembut, yang mudah tersayat ketika melihat dan mendengar rakyatnya menangis karena sakit atau lapar.

Rupanya ayahnya juga sering mengenakan topeng, pergi menyamar mendengarkan obrolan rakyatnya dari dekat karena apa yang dilihat dan didengarkan di istana sangat jauh berbeda daripada realitas di luarnya.

Semoga puasa Ramadhan ini akan mempertajam kembali pancaran hati nurani kita, terutama bagi siapa pun yang hendak atau tengah memegang jabatan sebagai pemimpin di negeri ini.
Komaruddin Hidayat
Rektor UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta







:: Sumber : Milis Yg Penulis Ikuti